![]() |
| Dok:jayawan |
Lumajang, daerah yang dianugerahi gunung dan sungai lahar, seharusnya memiliki masa depan cerah dari hasil mineral bukan logamnya. Namun kenyataannya, pasir Lumajang masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Aturan berubah, regulasi dicabut, dan masyarakat tetap berada di garis paling rapuh.
Pertanyaan mendasarnya: apakah hukum di Lumajang hidup mengikuti kepentingan ruang, atau justru tunduk pada kepentingan lain yang tak pernah diucapkan?
Regulasi: Ada yang Hidup, Ada yang Gugur
Satu fakta penting yang sering tidak dipahami publik ialah bahwa Perda Kabupaten Lumajang No. 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak 5 Januari 2025.
Ini berarti:
Pemkab tidak lagi memiliki perangkat perda terbaru yang mengatur teknis pengelolaan pertambangan.
Kewenangan secara penuh kembali berada di tingkat provinsi, sesuai amanat UU No. 23 Tahun 2014.
Kabupaten hanya memainkan peran pada aspek pengawasan, sosial-lingkungan, dan mitigasi risiko di daerahnya.
Pencabutan Perda 1/2017 menyisakan kekosongan kebijakan daerah yang berdampak langsung pada tata kelola stokpile, jalur distribusi, intensitas pengawasan, hingga potensi konflik sosial.
Padahal, Lumajang bukanlah wilayah yang bisa dibiarkan tanpa payung regulasi. Aktivitas galian C di daerah vulkanik aktif membawa dampak high-risk, bukan low-risk.
Regulasi yang Masih Berlaku
Meski Perda 1/2017 telah dicabut, bukan berarti Lumajang tanpa aturan. Beberapa payung hukum yang tetap hidup antara lain:
1. Regulasi Nasional
UU 4/2009 jo. UU 3/2020 tentang Minerba
→ Setiap penambangan wajib memiliki IUP, rencana reklamasi, dan rencana pascatambang.
UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
→ Kewenangan pemberian izin tambang berada pada Pemerintah Provinsi.
PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
→ Tata cara izin, reklamasi, pengawasan.
2. Regulasi Daerah yang Masih Berlaku
Perda Kabupaten Lumajang No. 7 Tahun 2001
→ Melarang penggalian dan pengurugan di sepanjang Kali Regoyo, Kaliputih, dan sungai sekunder lain.
Ini adalah alarm dini yang tetap relevan hingga hari ini.
Perda RTRW Lumajang
→ Mengatur kawasan lindung dan pemanfaatan ruang, yang seharusnya menjadi pagar keras bagi eksploitasi liar.
Peraturan Bupati terkait zonasi, stokpile, dan mitigasi dampak tambang
→ Menjadi instrumen teknis yang sifatnya memayungi operasional di lapangan.
Namun, kekosongan perda khusus pascatambang 2025 ibarat melepaskan perisai di tengah pertempuran yang semakin kompleks.
Dampak Sosial yang Terus Menganga
Ketika regulasi berubah, masyarakat tetap menanggung akibatnya. Pencabutan Perda 1/2017 membawa efek nyata:
1. Pengawasan Lapangan Melemah
Pemkab tidak lagi memiliki dasar hukum kuat untuk mengatur teknis operasional tambang dan stokpile.
Akibatnya:
Intensitas pengawasan berkurang
Pelanggaran jam operasional meningkat
Jalur distribusi makin padat
Konflik horizontal antar-warga dan antar-pengemudi tidak terkendali
2. Ketidakpastian Hukum Memperbesar Ketidakpastian Sosial
Ketika aturan berubah, masyarakat bingung membedakan mana legal mana ilegal.
Di sinilah bibit konflik sosial tumbuh.
3. Sungai Menjadi “zona abu-abu”
Sungai dan aliran lahar yang seharusnya dilindungi berubah menjadi lahan eksploitasi yang tidak kunjung habis.
Padahal dalam teori hukum lingkungan, perlindungan wilayah sungai adalah kewajiban negara karena menyangkut keselamatan publik.
Apakah Regulasi Dicabut untuk Memperbaiki atau Justru Membiarkan?
Inilah pertanyaan moral terbesar:
Jika Perda 1/2017 dicabut, apa regulasi pengganti yang menjamin keberpihakan pada lingkungan dan keamanan warga?
Jika tidak ada, maka pencabutan tersebut bukan pembaruan hukum, melainkan kemunduran regulatif.
Lumajang membutuhkan sinkronisasi tata kelola antara provinsi dan kabupaten. Kekosongan perda tanpa penguatan pengawasan hanya akan:
memperbesar ruang abu-abu,
memperparah kerusakan ekologis,
memperdalam ketimpangan sosial-ekonomi, dan mempercepat tergerusnya daya dukung lingkungan.
Penutup: Pasir Itu Anugerah atau Kutukan?
Ketika Perda 1/2017 resmi dimakamkan per 5 Januari 2025, Lumajang kehilangan salah satu payung hukum yang selama ini menjadi pijakan. Namun alam tidak menunggu regulasi, masyarakat tidak menunggu kejelasan, dan sungai tidak menunggu keputusan politik.
Oleh karena itu, mandat moral bagi pemerintah hari ini jelas:
Mengisi kekosongan regulasi, menguatkan penegakan hukum, dan menempatkan keselamatan masyarakat sebagai kepentingan tertinggi.
Jika tidak, maka pasir Lumajang akan terus menjadi paradoks:
melimpah sebagai sumber daya, tetapi miskin dalam tata kelola; menguntungkan sebagian kecil, tetapi merugikan orang banyak.

