JURNAL HUKUM
“Bencana Erupsi dan Kegiatan Pertambangan Galian C di Kabupaten Lumajang:
Antara Kewajiban Perlindungan Warga, Kepentingan Ekonomi, dan Siapa ‘Mastermind’ di Baliknya”
Ditulis oleh : Basuki Rakhmad (Oki) Advokat,Konsultan Hukum Dan Auditor Hukum Dusun Kalibendo Utara RT 08 RW 03 Desa Kalibendo Kecamatan Padirian Kabupaten Lumajang 67372 Jawa Timur HP : 0812 - 4999 - 0111
ABSTRAK
Erupsi Gunung Semeru yang berulang, termasuk peningkatan status menjadi Level IV (Awas) pada 19 November 2025 dan penetapan status tanggap darurat selama 7 hari oleh Bupati Lumajang, memaksa Pemerintah Kabupaten Lumajang mengambil langkah luar biasa, salah satunya menutup sementara seluruh aktivitas tambang pasir/galian C di kawasan rawan erupsi. 
Di sisi lain, terdapat fakta sosial bahwa masih ada pihak-pihak yang nekat melakukan penambangan meski Bupati telah menerbitkan Surat Edaran larangan penambangan “sampai kondisi memungkinkan” dan status Semeru masih Awas. 
Tulisan ini membahas: (1) kerangka hukum penanggulangan bencana dan pertambangan; (2) posisi dan kekuatan hukum Surat Edaran Bupati Lumajang terkait penghentian tambang galian C; (3) konstruksi pertanggungjawaban hukum bagi aktor-aktor yang tetap beroperasi; dan (4) analisis apakah Bupati harus menerbitkan Surat Edaran baru untuk memperpanjang larangan tambang, atau cukup mendasarkan pada status tanggap darurat dan prinsip kehati-hatian lingkungan.
KATA KUNCI
Erupsi Semeru, Galian C, Tanggap Darurat, Surat Edaran, Bupati Lumajang, Pertambangan, Lingkungan Hidup.
I. PENDAHULUAN
Erupsi Gunung Semeru bukan lagi peristiwa insidental, melainkan fenomena berulang yang selalu meninggalkan jejak luka sosial, ekonomi, dan ekologis di Kabupaten Lumajang. Data resmi menunjukan bahwa erupsi besar sebelumnya menimbulkan korban jiwa dan kerusakan signifikan, sementara pada November 2025 status Gunung Semeru kembali dinaikkan ke Level IV (Awas) dan ditetapkan status tanggap darurat oleh Bupati Lumajang selama 19–25 November 2025. 
Dalam situasi demikian, Pemerintah Kabupaten Lumajang menerbitkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tanggap Darurat Bencana Alam Erupsi Gunung Semeru, yang menjadi payung koordinasi penanganan bencana di tingkat daerah.  Di sisi lain, secara lebih spesifik, Bupati juga mengeluarkan Surat Edaran/imbauan kepada seluruh pelaku tambang pasir di kawasan rawan erupsi agar menghentikan sementara kegiatan penambangan pasir sampai kondisi dinyatakan aman, yang ditegaskan kembali oleh Sekretaris Daerah bahwa penambangan baru akan dibuka setelah Semeru dinyatakan aman. 
Namun kenyataan di lapangan tidak selalu seideal norma. Berbagai pemberitaan menyebut tetap adanya aktivitas pengangkutan pasir serta upaya-upaya untuk memanfaatkan momentum melimpahnya material lahar sebagai peluang ekonomi, meskipun surat edaran larangan sudah dikeluarkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: siapa aktor pengendali (‘mastermind’) di balik tetap berlangsungnya aktivitas tambang galian C di tengah bencana, dan sejauh mana perangkat hukum yang ada mampu menjerat mereka?
Pertanyaan lain yang tidak kalah penting adalah masalah desain regulasi:
• Apakah Bupati Lumajang wajib atau sebaiknya mengeluarkan Surat Edaran baru untuk memperpanjang larangan tambang lebih dari sebulan;
• Ataukah larangan itu cukup didasarkan pada status tanggap darurat dan kondisi faktual erupsi yang terus berlanjut, tanpa harus menunggu “erupsi betul-betul tidak ada”?
Dalam konteks inilah, jurnal hukum ini berupaya mengurai secara mendalam kerangka normatif penanggulangan bencana dan pertambangan, menganalisis kekuatan Surat Edaran Bupati, dan merumuskan konsep pertanggungjawaban hukum terhadap pelanggaran larangan tambang, tanpa terjebak menyebut nama individu tertentu tanpa dasar fakta yuridis yang sah (prinsip non-defamation & due process).
II. KERANGKA NORMATIF
1. Penanggulangan Bencana dan Kewajiban Pemerintah Daerah
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah. 
Beberapa poin penting:
1. Pemerintah daerah wajib:
• Melindungi masyarakat dari dampak bencana;
• Menjamin pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana;
• Menyusun dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana;
• Melakukan upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan.
2. Pemerintah daerah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang bertugas mengoordinasikan penanggulangan bencana pada fase prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. 
Penetapan status tanggap darurat melalui Keputusan Bupati Lumajang Nomor 100.3.3.2/595/KEP/427.12/2025 untuk periode 19–25 November 2025 adalah perwujudan langsung dari kewajiban tersebut, yang memberikan dasar hukum kepada Pemkab untuk mengambil langkah-langkah luar biasa demi keselamatan jiwa, termasuk pembatasan aktivitas ekonomi di daerah rawan bencana. 
2. Pengaturan Pertambangan Mineral dan Batubara Pasca UU 3/2020
UU No. 3 Tahun 2020 sebagai perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengkonsolidasikan kewenangan perizinan pertambangan di tangan Pemerintah Pusat, dengan pendelegasian tertentu kepada Pemerintah Daerah Provinsi. 
Inti perubahan:
• Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan perizinan sejenis tidak lagi menjadi kewenangan kabupaten/kota, melainkan pusat/provinsi;
• Namun, kabupaten/kota masih memegang peran penting dalam:
• Tata ruang dan penataan wilayah;
• Perizinan lingkungan dan pengawasan lapangan yang berkaitan dengan ketertiban umum dan keselamatan warga;
• Koordinasi penegakan hukum dengan aparat kepolisian dan instansi teknis.
Artinya, meskipun Bupati Lumajang tidak menerbitkan atau mencabut IUP tambang pasir galian C, Bupati tetap memiliki kewenangan atributif di bidang ketertiban umum, perlindungan masyarakat, dan penanggulangan bencana, yang dapat menjadi dasar penghentian sementara aktivitas pertambangan dalam situasi darurat.
3. Perlindungan Lingkungan dan Asas Kehati-hatian
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa perlindungan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas kelestarian dan keberlanjutan, serta asas kehati-hatian (precautionary principle). 
Implikasi asas kehati-hatian:
• Ketika terdapat ancaman serius atau tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan atau keselamatan manusia (misal: banjir lahar, longsor, awan panas, abu vulkanik), ketiadaan kepastian ilmiah penuh bukan alasan untuk menunda langkah pencegahan;
• Pemerintah daerah berhak dan wajib mengambil kebijakan pembatasan sementara aktivitas yang berpotensi memperburuk risiko bencana, termasuk penambangan galian C di aliran sungai lahar.
Asas ini memperkuat legitimasi Surat Edaran Bupati Lumajang yang menghentikan aktivitas tambang pasir di kawasan rawan erupsi Semeru.
4. Pemerintahan Daerah dan Polisi Administratif Bupati
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, termasuk perlindungan masyarakat dari ancaman bencana dan kerusakan lingkungan. 
Melalui kewenangan ini, Bupati dapat:
• Mengeluarkan Keputusan, Peraturan Bupati, maupun Surat Edaran dalam rangka penanggulangan bencana;
• Melakukan koordinasi dengan Polri, TNI, BPBD, dan instansi lainnya untuk memastikan kepatuhan dan penegakan larangan sementara.
III. SURAT EDARAN BUPATI LUMAJANG DAN PENUTUPAN SEMENTARA TAMBANG PASIR
1. Surat Edaran Tanggap Darurat dan Penutupan Tambang
Portal resmi Pemkab Lumajang mencatat bahwa pada 19 November 2025 diterbitkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tanggap Darurat Bencana Alam Erupsi Gunung Semeru, setelah status gunung dinaikkan ke Level IV (Awas).  Di saat yang hampir bersamaan, Bupati juga menyatakan secara terbuka akan menutup sementara seluruh aktivitas tambang pasir di kawasan rawan erupsi untuk mengutamakan keselamatan warga dan pekerja tambang. 
Sekretaris Daerah Lumajang, sebagaimana dilaporkan berbagai media, menegaskan bahwa:
• Surat edaran telah dikeluarkan untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir untuk sementara waktu;
• Penambangan akan dibuka kembali setelah kondisi Gunung Semeru dinyatakan aman, sementara hingga kini status masih Level IV/Awas. 
Frasa “sampai kondisi memungkinkan” dan “setelah kondisi Semeru dinyatakan aman” penting, karena menunjukkan bahwa larangan tambang bersifat kondisional, bukan sekadar berbatas waktu tanggal tertentu.
2. Kekuatan Hukum Surat Edaran
Secara teori hukum administrasi, Surat Edaran sering dipandang sebagai beleidsregel (aturan kebijakan) atau instrumen administratif internal yang memberi pedoman kepada aparat di bawahnya, bukan peraturan perundang-undangan dalam hirarki formal. Namun dalam praktik, surat edaran sering diberlakukan juga terhadap pelaku usaha/masyarakat sebagai bentuk instrumen pengaturan lunak (soft law) yang memperjelas implementasi norma di level operasional.
Dalam konteks ini, kekuatan larangan tambang dalam Surat Edaran Bupati Lumajang bertumpu pada:
1. Dasar Hukum Materiil:
• UU 24/2007 (penanggulangan bencana) → kewajiban perlindungan warga; 
• UU 32/2009 (lingkungan) → asas kehati-hatian dan hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; 
• UU 23/2014 (pemerintahan daerah) → urusan ketertiban dan perlindungan masyarakat di bawah kewenangan daerah. 
2. Dasar Hukum Formal:
• Keputusan Bupati tentang penetapan status tanggap darurat erupsi Semeru (19–25 November 2025), yang membuka ruang tindakan luar biasa termasuk pembatasan aktivitas ekonomi berisiko tinggi. 
Dengan demikian, walaupun Surat Edaran bukan “Perda” atau “Perbup”, ia menjadi manifestasi konkret dari kewajiban Bupati untuk melindungi jiwa warga dan lingkungan, dan dapat menjadi dasar bagi tindakan penertiban, apalagi bila didukung oleh keputusan lain (misalnya, perintah tertulis kepada aparat penegak hukum, pengawasan terpadu, dan operasi gabungan).
IV. SIAPA ‘MASTER MIND’ DI BALIK TETAP BERJALANNYA TAMBANG?
Pertanyaan mengenai “siapa mastermind” yang tetap menjalankan tambang galian C di tengah larangan Bupati menyentuh ranah pertanggungjawaban pidana dan administratif yang memerlukan pembuktian ketat dan due process. Di sini penting menekankan bahwa tanpa bukti yang sah, tidak etis dan tidak sesuai prinsip hukum untuk menyebut nama individu atau badan usaha tertentu.
Namun, secara konstruksi hukum, ada beberapa kategori aktor yang secara normatif dapat dimintai pertanggungjawaban:
1. Pemilik atau Pengendali Korporasi Tambang
• Bila yang beroperasi adalah tambang berizin, maka pemegang IUP dan pengurus korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban karena mengabaikan kewajiban keselamatan kerja dan perlindungan lingkungan, serta melawan kebijakan tanggap darurat daerah.
• Bila tambang tanpa izin, maka jelas masuk ranah pertambangan ilegal, yang dalam banyak penelitian di Lumajang dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran serius dengan potensi sanksi pidana dan administratif. 
2. Pengurus/Manajemen Lapangan dan Penanggung Jawab Teknis
• Kepala Teknik Tambang (KTT) dan penanggung jawab operasional di lapangan berkewajiban memastikan operasi sesuai izin dan standar keselamatan. Mengizinkan pekerja tetap menambang dalam status Awas dan larangan Bupati dapat dikualifikasi sebagai kelalaian berat atau bahkan kesengajaan.
3. Oknum Aparat atau Perantara yang Melindungi Kegiatan Ilegal
• Bila terdapat bukti adanya “backing” atau perlindungan dari oknum aparat, maka mereka dapat dijerat dengan pasal-pasal mengenai penyalahgunaan wewenang dan/atau turut serta (deelneming) dalam tindak pidana pertambangan ilegal.
• Namun penilaian ini mensyaratkan pembuktian kuat melalui penyidikan yang profesional dan independen.
4. Rantai Logistik dan Pembeli
• Dalam pendekatan follow the money, pembeli besar yang tetap menyerap pasir dari area yang secara jelas dilarang dapat dinilai turut mendorong keberlangsungan aktivitas ilegal, dan dalam konstruksi tertentu dapat dimasukkan sebagai pihak yang membantu atau turut serta.
Secara normatif, “mastermind” biasa dimaknai sebagai pengendali utama (intellectual actor) yang merencanakan, memerintahkan, atau mengorganisir aktivitas terlarang. Mengidentifikasi aktor ini harus dilakukan melalui mekanisme penegakan hukum formal (penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan) — bukan sekadar spekulasi publik.
Dengan kata lain, jurnal hukum ini tidak menunjuk nama, tetapi menegaskan bahwa secara teori hukum, struktur pertanggungjawaban dapat diarahkan ke pemilik modal, pengendali korporasi, penanggung jawab teknis, sampai jaringan perlindungan ilegal — sepanjang dapat dibuktikan di pengadilan.
V. HARUSKAH BUPATI MENGELUARKAN SURAT EDARAN BARU UNTUK MEMPERPANJANG LARANGAN TAMBANG?
Pertanyaan kunci: apakah Bupati Lumajang wajib mengeluarkan Surat Edaran baru melarang kegiatan tambang selama lebih dari satu bulan, atau menunggu erupsi benar-benar tidak ada?
1. Model “Time-Based” vs “Condition-Based”
Dari pemberitaan, larangan tambang saat ini dirumuskan “sampai kondisi memungkinkan” dan “hingga Semeru dinyatakan aman”, bukan dibatasi tanggal tertentu. 
• Jika larangan berbasis tanggal (misalnya, hanya 7 hari), maka secara hukum perlu instrumen perpanjangan, baik berupa:
• Keputusan Bupati perpanjangan status tanggap darurat; dan/atau
• Surat Edaran baru yang memperpanjang masa larangan.
• Jika larangan berbasis kondisi (status gunung, rekomendasi PVMBG, peta rawan bencana), maka secara normatif larangan tetap berlaku selama kondisi objektif belum berubah (misalnya status masih Level IV atau III, potensi lahar tetap tinggi). Dalam model ini, tidak selalu wajib menerbitkan SE baru, tetapi:
• Secara governance dan akuntabilitas, sangat dianjurkan untuk melakukan pembaruan berkala (update) melalui SE baru atau pengumuman resmi, agar masyarakat dan pelaku usaha mendapat kepastian hukum (legal certainty) dan kepastian ekonomi.
2. Kewajiban Melindungi Jiwa vs Tekanan Ekonomi
UU 24/2007 dan UU 32/2009 menempatkan perlindungan jiwa manusia dan lingkungan sebagai prioritas utama.  Dalam paradigma ini:
• Bupati tidak boleh menunggu “erupsi betul-betul tidak ada” jika ahli vulkanologi masih menyatakan adanya potensi lahar, awan panas, atau longsor;
• Justru, selama terdapat risiko signifikan, Bupati wajib memperpanjang larangan atau setidaknya mempertahankan status penghentian tambang, dengan dasar asas kehati-hatian.
Persoalan “satu bulan lebih” hanyalah persoalan rentang waktu administratif. Secara substantif, ukuran utamanya adalah:
• Status gunung menurut PVMBG (Level IV/Awas, Level III/Siaga, dst.);
• Peta dan rekomendasi zona bahaya;
• Penilaian risiko dari BPBD dan instansi teknis.
Selama indikasi bahaya tinggi, pembukaan kembali tambang lebih cepat justru berpotensi melanggar kewajiban perlindungan warga dan bisa menjadi dasar gugatan jika terjadi korban jiwa (class action, citizen lawsuit, atau gugatan PMH lingkungan). 
3. Rekomendasi Normatif
Secara normatif, menurut penulis:
1. Bupati sebaiknya mengeluarkan Surat Edaran baru / perpanjangan larangan tambang setiap kali:
• Status tanggap darurat diperpanjang; dan/atau
• Terdapat rekomendasi teknis terbaru dari PVMBG/BPBD terkait risiko lahar dan bahaya sekunder.
2. Dalam SE baru tersebut, Bupati dapat:
• Dengan tegas menyebut larangan “selama status Gunung Semeru minimal Siaga/Level III atau Awas/Level IV dan selama rekomendasi teknis menyatakan potensi tinggi lahar dan longsor”;
• Mengaitkan larangan dengan sanksi administratif (misalnya penutupan akses jalan, penghentian sementara kegiatan usaha di wilayah kewenangan kabupaten, koordinasi dengan kepolisian);
• Mendorong kompensasi atau skema mitigasi ekonomi lokal (padat karya, bantuan sosial, alternatif penghasilan) bagi pekerja tambang terdampak, demi mencegah tekanan ekonomi yang mendorong aktivitas tambang ilegal.
3. Tidak perlu menunggu erupsi “0%” atau benar-benar berhenti untuk memperpanjang larangan. Yang relevan adalah parameter risiko, bukan sekadar ada/tidaknya letusan kecil secara visual.
Dengan desain seperti ini, kebijakan Bupati tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga progresif dan selaras dengan prinsip perlindungan hak atas lingkungan hidup dan hak atas rasa aman warga.
VI. PENUTUP
Bencana erupsi Gunung Semeru menelanjangi paradoks klasik dalam tata kelola daerah: di satu sisi, Kabupaten Lumajang memperoleh pendapatan dan perputaran ekonomi besar dari aktivitas tambang galian C; di sisi lain, justru sektor inilah yang menempatkan ribuan jiwa pada risiko tinggi saat erupsi terjadi. Material vulkanik yang menumpuk di aliran sungai menjadi sumber rezeki sekaligus sumber bencana.
Dari sudut pandang hukum, Bupati Lumajang tidak hanya berwenang, tetapi berkewajiban untuk menghentikan sementara kegiatan tambang di kawasan rawan erupsi, sebagaimana telah dilakukan melalui Surat Edaran Tanggap Darurat dan larangan penambangan pasir “sampai kondisi memungkinkan.” Kebijakan ini memiliki dasar kuat pada UU 24/2007, UU 32/2009, dan UU 23/2014, serta diperkuat oleh prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam hukum lingkungan. 
Pertanyaan mengenai “siapa mastermind” di balik tetap berlangsungnya tambang di tengah larangan bukan semata isu moral, melainkan isu pertanggungjawaban hukum yang menyentuh jaringan korporasi, pengendali modal, penanggung jawab teknis, hingga kemungkinan keterlibatan oknum aparat. Namun dalam negara hukum, identifikasi “mastermind” harus dibuktikan melalui proses penyidikan dan peradilan yang transparan, bukan hanya asumsi publik. Di sini, peran Bupati, aparat penegak hukum, BPBD, dan masyarakat sipil menjadi penting untuk mendorong penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar, baik pelaku langsung maupun pengendali di balik layar.
Terkait pertanyaan apakah Bupati perlu mengeluarkan Surat Edaran baru atau menunggu erupsi benar-benar tidak ada, secara normatif dapat ditegaskan:
1. Bupati sebaiknya memperbarui dan mempertegas larangan tambang melalui Surat Edaran baru atau perpanjangan, yang merujuk pada:
• Perpanjangan status tanggap darurat;
• Status dan rekomendasi teknis PVMBG;
• Peta risiko lahar dan bahaya sekunder.
2. Tidak ada keharusan menunggu erupsi benar-benar berhenti; justru, selama risiko tinggi masih ada, larangan harus dipertahankan dan ditegakkan sebagai bentuk tanggung jawab negara melindungi warga dan lingkungan.
3. Kebijakan penghentian tambang yang konsisten dan didukung penegakan hukum akan mengirimkan pesan jelas bahwa nyawa manusia dan keselamatan publik tidak bisa dinegosiasikan dengan keuntungan sesaat dari pasir galian C.
Ke depan, Lumajang membutuhkan tata kelola pertambangan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan: penataan izin (yang kini banyak di tingkat pusat/provinsi), pengawasan terpadu, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, serta skema ekonomi alternatif bagi warga yang selama ini menggantungkan hidup dari tambang pasir. Jika tidak, setiap kali Semeru erupsi, Lumajang akan terus mengulang siklus: bencana – kepanikan – larangan sementara – pelanggaran – korban – dan kegaduhan politik, tanpa pernah menyentuh akar masalah.
Jurnal ini hendak menegaskan bahwa hukum menyediakan cukup landasan bagi Bupati Lumajang untuk bertindak tegas, konsisten, dan berjangka panjang: menjaga keselamatan warga, melindungi lingkungan, dan sekaligus mengurai benang kusut aktor-aktor yang di balik layar menjadikan bencana sebagai ladang keuntungan.

