Gelombang pencurian di Lumajang awal Agustus 2025 memang nyata dan patut menjadi perhatian serius. Dua kasus pencurian sepeda motor yang menimpa mahasiswa KKN di Desa Alun-Alun Ranuyoso dan Desa Tempeh Tengah (Tempeh) adalah peristiwa memprihatinkan yang harus diusut tuntas.
Namun, yang lebih memprihatinkan justru adalah cara merespons.
Universitas: Keputusan Terburu-buru, Lebay, dan Tidak Ilmiah
Delapan kampus sekaligus menarik seluruh mahasiswanya dari Lumajang—total 1.328 orang—hanya karena kejadian di dua desa. Apakah ini bentuk perlindungan atau justru bentuk pengabaian terhadap akal sehat?
Lumajang punya 21 kecamatan, 198 desa. Dua desa bukanlah cermin seluruh kabupaten. Keputusan seperti ini:
* Menghukum seluruh masyarakat Lumajang yang telah menerima mahasiswa dengan baik.
* Mengirim pesan keliru bahwa seluruh Lumajang tidak aman padahal faktanya tidak demikian.
* Menyuburkan stigma “Kabupaten Maling” yang akan sulit dihapus.
Sebagai institusi pendidikan, kampus mestinya mengajarkan analisis berbasis data bukan generalisasi gegabah. Tindakan terburu-buru ini tidak mencerminkan sikap ilmiah, tapi lebih mirip reaksi emosional yang menyerah sebelum berjuang.
Forkopimda: Diam yang Mematikan Kepercayaan Publik
Di sisi lain, Bupati, Kapolres, dan unsur Forkopimda memilih diam seribu bahasa. Tidak ada konferensi pers, tidak ada pernyataan resmi, tidak ada jaminan keamanan yang menenangkan warga maupun pihak kampus.
Padahal, dalam situasi krisis, diam = membiarkan rumor dan stigma membunuh reputasi daerah
Seharusnya mereka tampil ke publik dan berkata “Kami prihatin. Kejadian hanya terjadi di beberapa desa, bukan seluruh Lumajang. Kami pastikan keamanan tetap terjaga dan pelaku segera tertangkap. Pengamanan desa akan diperkuat.”
Ucapan seperti itu bukan sekadar basa-basi—itu adalah suntikan kepercayaan bagi warga dan pihak luar.
Kapolda Harus Turun Tangan
Jika Forkopimda Lumajang tak kunjung bersuara, maka Kapolda Jawa Timur perlu turun langsung. Tunjukkan dukungan moral kepada Polres Lumajang dan lakukan operasi besar-besaran penangkapan pelaku.
Tanpa langkah tegas dan komunikasi publik yang jelas, kepercayaan akan terus tergerus, dan stigma buruk akan melekat.
Kasus di dua desa jangan dijadikan vonis bahwa seluruh Lumajang berbahaya. Keputusan kampus menarik mahasiswa secara total adalah tindakan berlebihan yang merugikan citra daerah. Sementara diamnya Forkopimda sama saja membiarkan label “Kabupaten Maling” menempel di dahi Lumajang.
Lumajang tidak butuh sensasi atau diam, Lumajang butuh sikap bijak, tegas, dan berani membela nama baiknya.
Penulis: KH. Imoron Fauzi Pengasuh Pondok Pesantren Annur Azzahra Tempeh Lumajang

