Akal adalah modal paling mahal yang dimiliki manusia. Dari sanalah lahir gagasan, strategi, dan solusi yang bisa mengubah arah kehidupan bahkan peradaban. Namun ironisnya, di tengah masyarakat kita, hasil olah pikir sering kali dipandang sebelah mata.
Ada oknum yang dengan mudahnya mengabaikan pemberi ide, namun diam-diam memanfaatkan ide itu untuk keuntungan pribadi. Mereka mencomot “pemasukan intelektual” seolah itu udara bebas—bisa dihirup tanpa izin, tanpa menghargai siapa yang memompa oksigen itu.
Padahal, nilai pemikiran bukan diukur dari bentuknya yang tak kasat mata, melainkan dari dampak yang ia hasilkan. Sebuah strategi pemasaran, konsep kebijakan, atau sekadar usulan inovatif bila benar-benar dijalankan dapat menghasilkan pemasukan materi yang besar.
Sayangnya,negeri yang lebih menghargai tenaga daripada kepala, akal sering menjadi “kuli gratis” bagi mereka yang pandai mengambil kesempatan. Intelektual yang ikhlas memberi masukan kerap hanya mendapat tepukan di bahu, sementara keuntungan hasil idenya masuk ke kantong orang lain.
Jika ini dibiarkan, budaya “mencomot pikiran” tanpa penghargaan akan membunuh kreativitas dan keberanian untuk berbagi gagasan. Sebab tak ada yang mau berpikir keras jika hasilnya hanya menjadi santapan empuk bagi mereka yang tak berkeringat secara intelektual.
Lebih ironis lagi, ada oknum yang pandai bersilat lidah, melandaskan tindakannya pada kata pengabdian dan keikhlasan. Mereka berkata, “Kita ini bekerja untuk kepentingan bersama, bukan mencari keuntungan pribadi.” Namun di balik slogan itu, ide-ide orang lain dijadikan amunisi untuk mengisi kantong sendiri.
Pengabdian bukan berarti membiarkan intelektual menjadi sapi perah. Keikhlasan bukan alasan untuk memeras pikiran orang tanpa menghargai proses dan jerih payahnya. Justru, menghargai gagasan adalah bentuk pengabdian paling nyata sebab dari situlah muncul inovasi yang menggerakkan perubahan.
Bangsa ini tidak akan maju jika akal hanya dipandang sebagai pelengkap formalitas, sementara hasilnya dipakai tanpa memberi pengakuan. Menghargai pemikiran berarti menjaga martabat kemanusiaan, dan martabat itu akan runtuh jika kita membiarkan oknum bersembunyi di balik kata ikhlas demi kepentingan pribadi.
Penulis: Bahrusyofan Hasanudin Aktivis Mahasiswa

