Di sebuah lereng yang sunyi tepatnya di lereng Gunung batur Bangli, Kintamani, Bali. Saya menyaksikan sekelompok umat Hindu tengah melakukan persembahyangan di pelinggih kecil. Mereka khusyuk, duduk bersila, dengan sesajen tersusun rapi. Sebagai seorang Muslim, pemandangan ini mengingatkan saya pada satu prinsip penting: perbedaan adalah fakta, tetapi akidah adalah harga mati.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongannya.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini jelas melarang kita untuk meniru ibadah atau keyakinan, kebiasaan umat lain. Namun, hanya sekadar melihat, menyaksikan, dan menghormati tanpa ikut serta dalam ritual tersebut bukanlah tasyabbuh yang dilarang, melainkan tasamuh toleransi yang diajarkan Islam lebih lebih An-Nahdliyyin (warga Nahdatul Ulama/NU).
Dalam pandangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Keindonesiaan dibangun di atas tiga kesadaran: sejarah, kebangsaan, dan kemanusiaan. Kesadaran sejarah mengingatkan bahwa kemerdekaan diperjuangkan bersama, tanpa memandang agama. Kesadaran kebangsaan menegaskan bahwa kita semua berada di bawah satu bendera, yaitu NKRI. Kesadaran kemanusiaan menuntut kita menghormati martabat setiap orang.
Islam pun menegaskan hal serupa melalui Firman Allah swt QS. Al-Hujurat ayat 13, bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Menghormati perbedaan adalah bentuk pengamalan ayat ini, selama kita tidak mencampuradukkan akidah.
Di tengah maraknya gesekan sosial, kita perlu membedakan dengan tegas antara menjaga akidah dan menghormati keyakinan orang lain. Menjaga jarak dari tasyabbuh adalah bagian dari iman; memberi ruang kepada sesama untuk beribadah adalah bagian dari menjaga Indonesia.
Persatuan bangsa tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kemampuan hidup bersama dalam perbedaan dengan iman yang tetap teguh dan sikap yang tetap santun.
Penulis: Bahrusyofan Hasanudin Aktivis Mahasiswa

