![]() |
| Dok:metaAi |
Lumajang unik, bukan karena gunungnya tinggi, pasirnya bagus, dan jalannya berkelok. Tapi, banyak kasus muncul, tapi tak pernah benar-benar selesai. Dari dugaan korupsi, proyek fiktif, sampai kasus asusila pejabat semuanya lenyap perlahan, seperti kabut di kaki Semeru.
Di mana kasus hukum mati tanpa kematian. Tidak ada vonis, tidak ada putusan, hanya senyap dan lupa. Kalau mau sedikit sinis, mungkin Lumajang ini bukan kekurangan jaksa atau polisi, tapi kelebihan rasa sungkan.
Hubungan antara Aparat Penegak Hukum (APH) dan penguasa daerah seperti bupati atau pimpinan DPRD sering kali terlalu“mesra" Mesranya bukan dalam arti kerja sama profesional, tapi hubungan yang beraroma patronase dan kepentingan. Saling butuh, saling jaga, saling tutup telinga.
APH butuh dukungan politik dan fasilitas dari pemerintah daerah. Sementara penguasa butuh“perlindungan hukum" agar tidurnya nyenyak meski ada laporan yang belum tuntas di meja penyidik. Di tengah hubungan itu, masyarakat cuma jadi penonton bahkan sering dianggap pengganggu.
Dalam banyak kasus, keadilan di Lumajang terasa seperti panggung sandiwara. Ketika kasus baru muncul, semua tampak sibuk: konferensi pers, rapat koordinasi, dan janji penegakan hukum. Tapi beberapa bulan kemudian, berita menguap. Laporan hilang arah. Kasus menghilang, atau lebih tepatnya,“diistirahatkan".
Lalu muncul pola yang sama:“Sudah kami tangani, tapi masih menunggu hasil audit atau pemeriksaan.”Masih proses klarifikasi.”Belum cukup bukti." dll. Padahal yang tidak cukup itu bukan bukti, tapi keberanian.
Di Lumajang, hukum bukan alat koreksi, tapi alat negosiasi. Siapa dekat dengan kekuasaan, dia akan punya imunitas tak tertulis. Siapa yang mengkritik, dia akan dianggap provokator. Padahal, kekuasaan tanpa koreksi itu seperti mobil tanpa rem cepat, tapi rawan nabrak.
Kita butuh aparat yang tak hanya pintar menafsir pasal, tapi juga berani menegakkan integritas. Karena hukum yang baik bukan diukur dari tebalnya kitab undang-undang, tapi dari keberanian menegakkan yang benar, biar pejabat sekalipun saat salah adili.
Kalau terus begini, Lumajang akan dikenal bukan karena pasirnya yang bagus, tapi karena hukumnya yang loyo. Lumajang pandai membuat berita, tapi tak pernah menghasilkan keadilan. Salam keadilan.
Penulis :Hariyanto,S.H Penggiat Keadilan dan Kemanusiaan

