Ditulis di tepi Ranu Pakis Klakah, sambil menunggu ikan mau menggigit umpan.
Di sebuah kampus hukum di Lumajang yang namanya sengaja saya sembunyikan demi ketenteraman semesta, proposal kegiatan hidup seperti ikan-ikan di danau pagi ini Senin (10/11/2025). Banyak yang terlihat mengapung, sedikit yang benar-benar menyambar kesempatan. Proposal disusun rapi, dijilid tebal, lalu berlayar dari meja ke meja, seolah mencari nasibnya sendiri. Itulah kisah lama yang sering dialami para mahasiswa selama bertahun-tahun.
Pola pendanaannya pun tak banyak berubah. Seratus ribu rupiah dari setiap mahasiswa, katanya untuk mendukung organisasi mahasiswa. Namun beberapa pengurus generasi sebelumnya diam-diam mengeluh, sebab dana yang masuk tidak selalu sama dengan jumlah yang diceritakan.
Tahun ini, arah arus berubah. Panitia kegiatan memilih untuk tidak sekadar menunggu ikan datang, tetapi melempar kail jauh ke luar perairan kampus. Mereka mengetuk pintu kepala desa, mengajukan proposal ke instansi seperti BPBD dan Baznas, bahkan menjalin komunikasi dengan anggota DPRD. Perjalanannya panjang, mirip menunggu ikan besar yang tak kunjung menyentuh umpan. Hampir semua lembaga memberi senyum ramah, tetapi tidak memberi hasil.
Penggalangan dana eksternal singkatnya kandas. Tak ada ikan yang menyambar.
Tetapi ketika harapan tampak menipis, kabar baik muncul dari tempat yang justru paling dekat. Proposal resmi yang diajukan lewat mekanisme kampus malah cair dengan angka yang sulit dipercaya. Nominalnya fantastis, jauh melampaui apa yang pernah diterima panitia generasi sebelumnya. Seakan setelah lelah melempar kail ke segala arah, rezeki justru muncul dari permukaan yang selama ini luput dipandang.
Kabar ini bergerak cepat di antara mahasiswa. Bukan hanya sebagai kegembiraan, tetapi sebagai bahan renungan. Bahwa transparansi, komunikasi, dan keseriusan panitia bukan sekadar formalitas, melainkan kunci yang selama ini diputar ke arah yang salah. Bahwa kampus sebenarnya mampu mendukung kegiatan mahasiswa lebih besar dari dugaan, asalkan jalurnya benar dan pengelolaannya jelas.
Namun pencairan dana ini bukan epilog, melainkan prolog. Ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul seperti riak kecil di danau:
Apakah pola baru ini akan bertahan?
Apakah transparansi anggaran bisa menjadi kebiasaan, bukan pengecualian?
Apakah panitia di tahun-tahun berikutnya mampu meniru ketekunan yang ditunjukkan panitia sekarang?
Hari ini satu hal layak disimpan. Perubahan tidak selalu datang dari protes lantang. Kadang ia lahir dari sekelompok mahasiswa yang memilih bekerja, bukan sekadar mengeluh. Yang berani mencoba jalur baru, lalu pulang membawa bukti bahwa sistem bukan batu, tetapi pintu yang bisa terbuka bila diketuk dengan cara yang benar.
Dana yang cair fantastis ini bukan sekadar uang. Ia adalah tanda bahwa harapan di kampus itu masih hidup. Tanda bahwa budaya lama bisa diperbaiki tanpa drama dan tanpa beban berlebih pada mahasiswa.
Di tepi Ranu Pakis Klakah, sambil menunggu ikan yang masih malu-malu, satu kalimat muncul di kepala saya:
Barangkali ini awal dari bab yang lebih jernih. Bab ketika kerja sungguh-sungguh akhirnya dihargai sebagaimana mestinya.
Penulis: Bahrusyofan Hasanudin warga Lumajang

%20By%20Impostor%20Gelap.jpg)