![]() |
| Bahrusyofan Hasanudin bersama Dr. Aries Hariyanto,.S.H,.M.H,. Serta istri tercintanya di cafe D'Burno Senduro Lumajang Jawa Timur makan siang seusai jadi pemantik |
(Dikutip dari tulisan Dr. Aries Harinyato dalam buku Politik Lokal di Republik Gagal Faham: Urgensi Menggugat Melalui Pendapat)
Membenci adalah aksi menolak untuk mengerti. Kalimat ini menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana hukum bekerja dan bagaimana manusia memaknainya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Lawrence M. Friedman, hukum adalah seperangkat aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, tentang kebenaran dan kesalahan. Substansinya berupa perintah, larangan, dan perkenan, sementara bentuknya termanifestasi dalam perilaku, tugas, tanggung jawab, serta hak dan kewajiban.
Dalam pandangan Friedman, hukum kerap dianggap sebagai sesuatu yang independen terlepas dari tata kehidupan sosial. Struktur dan aturan hukum berada dalam ranah teoretis, sedangkan tindakan atau perilaku manusia berada dalam realitas kehidupan. Karena itu, sistem hukum terdiri atas tiga komponen penting: struktur (legal structure), substansi (legal substancy), dan budaya hukum (legal culture). Struktur mencakup kelembagaan aparatur pelaksana dan penegak hukum; substansi berkaitan dengan materi aturan sebagai wahana kepastian, keadilan, dan kemanfaatan; sedangkan budaya hukum bertaut dengan ketaatan sebagai manifestasi kesadaran hukum.
Dari konsep teoretis tersebut lahirlah sebuah adagium penting: jika aturan (substansi hukumnya) tepat, aparatur pelaksana (struktur) hukumnya konsisten, dan tercipta ketaatan (budaya hukum) masyarakat yang koheren dengan sistem yang diharapkan, maka output penegakan hukum menjadi efektif. Namun sebaliknya, apabila substansi hukum tidak tepat sekalipun struktur hukumnya konsisten, sementara tidak tercipta budaya hukum yang mendukung, maka penegakan hukum cenderung tetap berjalan secara efektif karena sifat imperatif aturan hukum yang memiliki daya menekan melalui aparat penegak hukum. Efektivitasnya terjadi bukan karena kesadaran, tetapi karena paksaan normatif.
Menurut M. Friedman, perubahan dalam kesadaran hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti peristiwa ekonomi, politik, dan sosial. Kesadaran hukum kemudian mengubah budaya hukum. Budaya hukum membentuk sistem hukum, dan sistem hukum memengaruhi sistem sosial-ekonomi serta politik dalam cakupan yang lebih luas. Pada gilirannya, tekanan sosio-ekonomi dan politik sangat memengaruhi kesadaran hukum, yang kemudian membidani kesadaran berkonstitusi sebagai nilai operasional bernegara—yang lazim disebut politik.
Konsep pemikiran M. Friedman ini menjadi optik penting untuk mengkritisi fakta dan fenomena problematika yang dibahas dalam buku ini. Setiap gejala sosial yang diangkat merupakan rahim isu-isu strategis yang menuntut jawaban. Karena itu, pemikiran Friedman perlu ditopang oleh dimensi teori lain dalam ranah ilmu sosial untuk mempertegas analisis, mengeksplorasi gejala, dan menempatkan problem hukum dalam relasi yang lebih luas.
Dengan demikian, urgensi memahami budaya hukum bukan sekadar wacana teoretis, melainkan fondasi untuk menggugat, mengkritisi, dan meluruskan arah sistem hukum yang kerap kali gagal memahami realitas masyarakat yang sesungguhnya.
Ditulis oleh:
Bahrusyofan Hasanudin
Mahasiswa STIH Jenderal Sudirman Lumajang
NIM 22003 — Semester 6A

