BEM STIH Jenderal Sudirman periode 2025–2026 baru saja dilantik. Namun, pelantikan hanyalah awal—bukan tujuan. Tantangan ke depan jauh lebih besar: bagaimana membuktikan bahwa BEM bukan sekadar simbol seremonial kampus, melainkan mesin perjuangan yang mampu memberi dampak nyata.
Kita harus jujur, sebagian BEM di berbagai kampus sering kali terjebak pada rutinitas rapat, kegiatan formal, dan laporan kerja yang kering makna. Akibatnya, mahasiswa apatis dan menganggap BEM tidak lebih dari stempel organisasi. Inilah yang harus dipatahkan oleh BEM STIH Jenderal Sudirman.
Ada tiga pijakan penting yang wajib dijadikan dasar kerja.
Pertama, ideologi dan visi.
BEM harus hadir dengan nafas perjuangan. Kajian, diskusi, dan ruang sharing harus diperkuat agar setiap kader mengerti: mereka bukan hanya pengurus organisasi, melainkan bagian dari gerakan mahasiswa hukum yang punya tanggung jawab moral untuk membela keadilan.
Kedua, kepemimpinan teladan.
Seorang pemimpin BEM tidak boleh nyaman hanya di balik meja atau podium. Mahasiswa akan segan jika pemimpinnya ikut turun tangan, ikut basah dalam kerja sosial, ikut berdiri di depan saat menyuarakan aspirasi. Kepemimpinan bukan sekadar bicara, tetapi teladan nyata.
Ketiga, aksi nyata dan kaderisasi.
Program kerja BEM harus menyentuh kebutuhan mahasiswa—mulai dari advokasi pendidikan, pendampingan hukum, hingga pengabdian masyarakat. BEM tidak boleh puas hanya dengan spanduk dan seminar; mereka harus hadir di tengah mahasiswa yang butuh pembelaan, di tengah masyarakat yang butuh advokasi. Dan semua itu harus beriringan dengan kaderisasi terstruktur, agar estafet perjuangan tidak terputus.
Jika tiga pijakan ini dijalankan, BEM STIH Jenderal Sudirman akan meninggalkan jejak yang berbeda. Mereka tidak hanya dikenal sebagai pengurus yang menghabiskan satu periode, tetapi sebagai generasi yang mengubah wajah kampus.
BEM harus jadi pelopor, bukan pelengkap. Jadi mesin perjuangan, bukan sekadar seremonial.
Penulis; Bahrusyofan Hasanudin Mahasiswa STIH JS Lumajang

