Kata Pengantar
Kebijakan “Dana Dusun” yang dicanangkan Bupati Lumajang—diberitakan bernilai sekitar Rp50 juta per dusun dan direncanakan mulai berjalan tahun anggaran 2026—didorong sebagai strategi pembangunan dari bawah (bottom-up) serta penguatan ketahanan sosial dan keamanan lingkungan di tingkat dusun.¹ Namun, di saat yang sama, pemanfaatan Dana Desa (DD) dari APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD kerap dipersoalkan soal transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks itu, opini hukum ini menilai: apakah Dana Dusun efektif jika permasalahan transparansi DD/ADD belum beres, serta bagaimana rancang-bangun hukumnya agar taat asas dan minim risiko.
Disusun Oleh :
Basuki Rakhmad (Oki)
Advokat, Konsultan Hukum Dan Auditor Hukum
Dusun Kalibendo Utara RT 08 RW 03 Desa Kalibendo Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang 67372
HP : 0812 – 4999 - 0111
Rumusan Masalah
1. Apakah kebijakan Dana Dusun dapat dan layak diimplementasikan menurut peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimana desain hukum dan tata kelola yang benar agar Dana Dusun tidak bertentangan/bertabrakan dengan skema DD dan ADD?
3. Apakah efektif meluncurkan Dana Dusun jika praktik pengelolaan DD/ADD masih diduga tidak transparan?
Kerangka Hukum (Pokok Dasar)
1. UU 6/2014 tentang Desa: Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur/urus kepentingan masyarakat; penyelenggaraan pemdes, musyawarah desa, dan peran BPD diatur sebagai elemen kunci tata kelola.
2. PP 43/2014 jo. PP 47/2015 (pelaksanaan UU Desa): menurunkan norma kewenangan desa dan peran Musyawarah Desa dalam keputusan strategis.
3. UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah: kepala daerah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah; belanja APBD (termasuk bantuan keuangan ke desa) wajib transparan, akuntabel, tertib, taat ketentuan.
4. Permendagri 20/2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa: siklus perencanaan-pelaksanaan-penatausahaan-pelaporan-pertanggungjawaban APBDes; semua penerimaan/pengeluaran desa harus melalui rekening kas desa dan dicatat dalam APBDes.
5. PMK 201/PMK.07/2022 jo. PMK 98/2023 tentang Pengelolaan Dana Desa: Dana Desa dialokasikan berbasis alokasi dasar, formula, dan kinerja; ada komponen alokasi kinerja untuk desa berperformansi baik (kualitas perencanaan, pelaporan, penyaluran non-BLT, dst.).
6. Permendesa PDTT 16/2019 (Musyawarah Desa) dan Permendesa PDTT 17/2019 (Pedoman Umum Pembangunan & Pemberdayaan Masyarakat Desa): Musdes adalah forum sah untuk menetapkan hal strategis, prioritas kegiatan, dan penganggaran desa.
7. PerLKPP 12/2019: pedoman penyusunan tata cara pengadaan barang/jasa di desa—prinsip efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
8. Permendagri 73/2020: pengawasan pengelolaan keuangan desa oleh APIP/Inspektorat dan peran camat, BPD, serta masyarakat.
9. UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP): badan publik—termasuk pemerintah desa—wajib membuka informasi antara lain rencana kerja/anggaran dan laporan realisasi.
10. Permendagri 84/2015 (SOTK Pemdes): Dusun bukan subjek hukum/keuangan tersendiri; Kepala Dusun adalah pelaksana kewilayahan yang membantu Kepala Desa. Konsekuensinya, dana untuk dusun harus melalui APBDes, bukan rekening dusun.
Analisis Yuridis & Tata Kelola
A. Status “Dana Dusun” dalam Sistem Keuangan Publik
• Dusun adalah unit kewilayahan di bawah desa; ia bukan badan hukum/entitas keuangan yang dapat memegang rekening anggaran sendiri. Karena itu, setiap dana untuk dusun wajib di-mainstream ke dalam APBDes dan dikelola oleh Pemerintah Desa sesuai Permendagri 20/2018. Penetapan prioritas dan paket kegiatan per-dusun ditetapkan melalui Musdes, dituangkan di RKPDes dan Perdes APBDes (dengan pengawasan BPD).
• Jika sumbernya dari APBD Kabupaten, maka secara normatif paling tepat dibingkai sebagai Bantuan Keuangan (BanKeu) ke Desa atau penguatan ADD—bukan transfer langsung ke dusun. BanKeu/ADD itu wajib tercermin di APBDes, dengan klasifikasi kegiatan per-dusun sesuai lampiran RKPDes dan mengikuti tata kelola desa. (Rujukan kewenangan fiskal daerah dan penganggaran: UU 23/2014 dan PP 12/2019).
B. Risiko Ketidakselarasan & Tumpang-Tindih
• Tanpa desain yang jelas, Dana Dusun berpotensi “menduplikasi” DD/ADD pada level output (infrastruktur sederhana, keamanan lingkungan, sosial) sehingga menimbulkan moral hazard (split anggaran untuk kegiatan serupa) dan fragmentasi perencanaan (tidak satu peta di RKPDes). Padahal, PMK 201/2022 memberi bobot kinerja atas kualitas perencanaan/penyaluran DD—sehingga tumpang-tindih justru menurunkan skor kinerja desa.
C. Transparansi sebagai Syarat Material
• Isu pokok yang Anda sebut—dugaan ketidaktransparanan DD/ADD—langsung menyentuh asas transparansi & akuntabilitas keuangan desa menurut Permendagri 20/2018, pengawasan Permendagri 73/2020, dan kewajiban keterbukaan UU 14/2008 (KIP). Tanpa perbaikan transparansi, injeksi program baru justru memperbesar risiko penyimpangan dan mengeruhkan akuntabilitas (lebih banyak pos, tapi tata kelola sama).
D. Apakah “Efektif” Dijalankan Sekarang?
• Secara hukum: dapat dilaksanakan asal disalurkan via APBDes, ditetapkan lewat Musdes, dipayungkan dalam Perdes APBDes, dan mengikuti tata kelola/prokurmen desa. Tidak boleh ada rekening dusun atau pengelolaan di luar sistem APBDes/Siskeudes.
• Secara tata kelola: efektivitas sangat bergantung pada prasyarat (lihat butir E). Meluncurkan Dana Dusun sebelum transparansi DD/ADD dibenahi cenderung tidak efektif dan berisiko memperbanyak ketidaktertiban administrasi dan SPJ, sekaligus melemahkan kemungkinan desa mendapat alokasi kinerja DD.
E. Rekomendasi (Prasyarat Minimum & Desain Operasional)
1. Perbup Dana Dusun sebagai payung teknis:
o Menegaskan bahwa Dana Dusun adalah BanKeu/ADD tematik ke Desa, terlarang disalurkan langsung ke dusun/rekening non-kas desa; harus diintegrasikan ke RKPDes→Perdes APBDes. (Dasar: UU 23/2014, PP 12/2019, Permendagri 20/2018).
o Output/indikator per-dusun ditetapkan via Musdes (partisipatif) dengan pengawasan BPD. (Dasar: Permendesa 16/2019, Permendagri 110/2016).
2. Transparansi “open-book” sebagai syarat pencairan:
o Desa wajib mempublikasikan RKPDes, Perdes APBDes, RAB per dusun, dan realisasi triwulanan pada papan informasi & situs PPID desa sesuai UU KIP dan Permendagri 20/2018; pencairan tahap berikutnya hanya setelah dokumen & laporan disahkan/terbit.
3. Pengadaan & pembayaran:
o Semua belanja cashless di atas ambang tertentu; pengadaan mengikuti PerLKPP 12/2019 (swakelola/penyedia), larangan conflict of interest, dan dokumentasi minimal (HPS, BA, kuitansi).
4. Pengawasan berlapis & sanksi:
o APIP/Inspektorat melakukan reviu sampling; Camat memonitor; BPD mengawasi dan menilai serapan/keluhan warga. Ketidakpatuhan → penundaan/pemotongan alokasi tahun berjalan/berikutnya (link ke alokasi kinerja DD agar ada real incentive).
5. Sinkronisasi dengan DD/ADD:
o Negative list (kegiatan yang tidak boleh didanai Dana Dusun bila sudah dibiayai DD/ADD) untuk cegah duplikasi. Penajaman fokus (mis. keamanan lingkungan & ketahanan sosial seperti pos-kamling, pelatihan relawan, dsb.) sebagaimana narasi kebijakan daerah—tetap dituangkan di APBDes.
6. Skema penyaluran yang disarankan (pilih salah satu):
o Skema A (Earmarked-ADD): menambah pagu ADD dengan kunci peruntukan per-dusun; pengesahan melalui Perdes APBDes.
o Skema B (BanKeu Tematik ke Desa): hibah/ban-keu APBD ke desa dengan SOP & indikator output per-dusun.
o Skema C (Challenge Fund Dusun): kompetisi proposal dusun (diputus Musdes/BPD); dana tetap dibukukan di APBDes—bukan di dusun.
7. Pemicu perubahan perilaku:
o Jadikan Kepatuhan KIP, kelengkapan SPJ, dan kualitas Musdes sebagai indikator kinerja yang memengaruhi besaran Dana Dusun tahun berikutnya (selaras PMK 201/2022 jo 98/2023).
Kesimpulan Hukum
1. Secara normatif, Dana Dusun dapat dilaksanakan asal: (i) disalurkan sebagai BanKeu/ADD ke Pemerintah Desa (bukan ke dusun), (ii) diintegrasikan ke RKPDes dan APBDes melalui Musdes/Perdes, (iii) mengikuti Permendagri 20/2018 dan PerLKPP 12/2019 untuk pengadaan/pertanggungjawaban, (iv) berada dalam sistem pengawasan Permendagri 73/2020.
2. Secara kebijakan, meluncurkan Dana Dusun tanpa terlebih dahulu memperbaiki transparansi DD/ADD berpotensi tidak efektif dan berisiko meningkatkan duplikasi program serta beban pengawasan. Terapkan prasyarat transparansi “open-book” dan skema kinerja sebagai gate pencairan.
3. Rekomendasi: tetapkan Perbup Dana Dusun yang memagari desain di atas, lakukan u ji coba terbatas (pilot) pada beberapa desa berpredikat baik (kinerja DD tinggi), evaluasi APIP triwulanan, dan skalakan bertahap ke seluruh dusun setelah indikator transparansi/akuntabilitas terpenuhi.
Penutup
Program Dana Dusun bisa menjadi alat pemberdayaan dan pemicu partisipasi warga tingkat akar rumput—sejalan dengan semangat UU Desa dan fokus 2025 Kementerian Desa—asalkan dirancang dengan jalur hukum yang tepat (via APBDes), guardrail transparansi yang ketat, dan insentif kinerja yang nyata. Dengan menata pipa tata kelola terlebih dahulu, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Desa dapat memastikan setiap rupiah Dana Dusun benar-benar terasa manfaatnya bagi warga dusun—bukan sekadar menambah pos anggaran baru.
Catatan sumber utama:
UU 6/2014; PP 43/2014 jo. PP 47/2015; UU 23/2014; PP 12/2019; Permendagri 20/2018; PMK 201/PMK.07/2022 jo. PMK 98/2023; Permendesa 16/2019 & 17/2019; PerLKPP 12/2019; Permendagri 73/2020; serta pemberitaan/siaran Kominfo & portal resmi Kab. Lumajang terkait kebijakan Dana Dusun 2026.

