![]() |
| Gambar Salsa Erwina:Suara.com |
Di tengah derasnya arus media sosial, muncul satu suara yang lantang, jujur, dan berani dari seorang influencer diaspora Indonesia, Salsa Erwina. Baru-baru ini, video perdebatan dirinya dengan salah satu anggota Komisi III DPR RI dari Partai Nasdem menjadi viral. Tapi yang lebih penting dari viralitas itu adalah pesan yang disampaikan: tentang relasi orang tua dan anak yang sehat dan adil.
Sebagai generasi muda yang juga pernah (dan mungkin sedang) merasakan tekanan dari ekspektasi orang tua, saya merasa sangat terwakili oleh suara Salsa Erwina. Ia tidak hanya berbicara sebagai individu, tapi sebagai suara kolektif dari anak-anak yang selama ini diperlakukan tidak adil dengan dalih “demi kebaikanmu”.
Salah satu bagian paling menarik adalah ketika Salsa Erwina membongkar tiga bentuk manipulasi emosional yang sering dibungkus dengan kalimat seolah-olah penuh cinta dan pengorbanan. Berikut adalah tiga kata mutiara manipulatif yang menurut saya harus dijauhi oleh semua orang tua jika ingin menciptakan hubungan yang sehat dengan anaknya:
1. "Kamu enggak ingat siapa yang membesarkan kamu?"
Kalimat ini sekilas seperti ajakan untuk mengenang jasa orang tua, tapi di baliknya sering tersembunyi pemaksaan rasa bersalah. Anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Keputusan untuk punya anak adalah sepenuhnya tanggung jawab orang tua. Maka membesarkan anak bukanlah jasa yang perlu "dibayar kembali", melainkan bentuk tanggung jawab moral dan legal dari orang tua.
2. "Mama yang salah, mama ibu yang gagal, mama enggak punya siapa-siapa selain kamu."
Ini adalah bentuk drama manipulatif yang sering digunakan orang tua ketika tidak ingin mempertanggungjawabkan kesalahan atau perlakuan buruknya. Kalimat ini memindahkan beban ke anak: membuat anak merasa bersalah, bersimpati, bahkan menjadi penyangga emosional. Padahal, dalam relasi yang sehat, setiap kesalahan harus disikapi dengan dewasa: akui, minta maaf, dan perbaiki.
3. "Dulu mama rela enggak makan demi kamu bisa sekolah."
Pengorbanan orang tua memang tak ternilai, tapi menjadikannya hutang emosional adalah bentuk manipulasi yang sangat berbahaya. Ini membuat anak tumbuh dengan rasa bersalah yang tidak sehat. Padahal, keputusan untuk berkorban adalah keputusan orang tua sendiri yang seharusnya dilakukan tanpa syarat.
Kesimpulan:
Hubungan orang tua dan anak haruslah dua arah: saling memahami, saling mendukung, dan saling memperbaiki diri. Tidak bisa hanya satu pihak yang terus berkorban sementara yang lain terus menuntut.
Salsa Erwina, lewat keberaniannya, sedang membuka ruang diskusi penting: kapan kita mulai membangun keluarga yang benar-benar sehat secara emosional? Bukan keluarga yang hanya tampak harmonis di luar, tapi penuh luka di dalam.
Sudah saatnya kita sadar bahwa menjadi orang tua bukan berarti punya hak penuh atas hidup anak. Dan menjadi anak bukan berarti harus terus-menerus berutang budi atas keputusan yang tak pernah mereka ambil.
Mari kita akhiri warisan manipulasi, dan mulai mewariskan kejujuran, tanggung jawab, dan cinta yang benar-benar sehat.
Kalau kamu punya pengalaman atau opini soal hubungan orang tua-anak yang sehat, tulis di kolom komentar. Mungkin kamu enggak sendirian.
#BreakTheCycle #ParentingSehat #SalsaErwina #AnakBukanUtangEmosional

.jpeg)
.jpeg)