Negara hadir untuk memberikan kepastian hukum kepada warganya. Salah satunya melalui sidang isbat, yang bertujuan meneguhkan status hukum pernikahan maupun hal-hal penting lainnya. Proses ini seharusnya sederhana, jelas, dan transparan. Namun realitanya sering jauh berbeda di lapangan.
Ketika seseorang hendak mengurus sidang isbat, sering kali berhadapan dengan tawaran “jalur belakang” apa mau ngurus sendiri. Ada oknum yang menawarkan penyelesaian cepat dengan imbalan sejumlah uang. Bahkan harga bisa dinegosiasikan, seolah-olah hukum adalah barang dagangan. Fenomena ini tentu mencoreng wajah negara dan merusak kepercayaan masyarakat. Apalagi saya, yang kebetulan masih menduduki bangku perkuliahan STIH JS Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jendral Sudirman Lumajang Jawa Timur.
Masalah utamanya bukan hanya soal biaya tambahan, tetapi bagaimana rakyat kecil akhirnya merasa tidak punya pilihan. Kalau ikut jalur resmi, mereka khawatir urusannya berlarut-larut. Kalau memilih jalur belakang, berarti ikut melanggengkan budaya pungli. Inilah dilema yang seharusnya tidak perlu dihadapi rakyat jika negara benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik.
Negara semestinya memberi jaminan bahwa hukum bisa diakses siapa pun tanpa perlu “uang pelicin”. Informasi tentang prosedur dan biaya resmi harus disampaikan secara terbuka. Pengawasan internal perlu diperketat agar tidak ada ruang bagi oknum nakal. Lebih dari itu, masyarakat juga perlu diedukasi untuk berani menolak pungutan liar, dan negara wajib memberi perlindungan ketika rakyat memilih jalur resmi.
Hukum adalah panglima, bukan komoditas. Jika jalur belakang terus dibiarkan, maka hukum hanya akan menjadi milik mereka yang punya uang, sementara keadilan bagi rakyat kecil hanyalah mimpi yang tidak sesuai dengan sila ke-2. Negara harus berani hadir, bukan sekadar di atas kertas, melainkan nyata di lapangan.
Penulis: Bahrusyofan Hasanudin (Aktivis Mahasiswa)

