LUMAJANG - Ada masa di mana ulama menjadi tiang penyangga umat—tegak lurus di atas nilai kebenaran. Namun kini kita berada di masa di mana ulama lebih sibuk menjaga kedekatan dengan penguasa daripada membela kebenaran untuk rakyat.
Sayangnya, Lumajang telah mengalami keduanya.
Gereja di Tengah Kampung Muslim
Pada masa Bupati Thoriq, sebuah gereja dibangun di tengah kampung Muslim, tepat diapit dua masjid—padahal tidak ada jemaat Kristen yang tinggal di situ.
Demi meredam kegaduhan, dibangun lagi masjid ketiga di sisi gereja—sebuah keputusan untuk menyamarkan kesalahan, bukan menyelesaikannya.
Dan siapa yang memberi legitimasi atas langkah itu?
MUI Lumajang, dengan istilah “masjid ghoiru jami’”, telah membungkus keputusan keliru itu dengan narasi fatwa demi ambisi penghargaan “kabupaten moderasi.”
Memyangkut Sound Horeg: Lagi Lagi, MUI Salah Tempat
Kini pola yang sama muncul kembali melalui kasus sound horeg—kegiatan yang meresahkan, mencemari lingkungan, dan merendahkan moral publik.
Namun jawaban MUI Lumajang hanya:
“Boleh, asal tidak mengganggu.”
Padahal kenyataannya: mereka memang mengganggu—ibadah, tidur warga, dan akal sehat masyarakat yang haus ketenangan.
Ironisnya, Kapolres Lumajang sudah tegas menyatakan izin sound boleh dicabut jika mengganggu, sebagaimana yang dilansir media lokal.
Ditambah dengan fakta:
Kepmen LH No. 48/1996: batas kebisingan maksimal 55 dB
UU 32/2009: kebisingan termasuk pencemaran
Fatwa MUI Jawa Timur No. 1 Tahun 2025: "sound horeg yang memicu kemungkaran hukumnya haram secara mutlak," seperti yang dilansir di muijatim.or.id
Dan Inilah Jawaban MUI Lumajang
Pada mulanya, MUI Lumajang memperbolehkan sound horeg asal tidak mengganggu, sesuai poin ke-4 fatwa MUI Jatim yang memberi ruang untuk penggunaan sound wajar dalam acara positif seperti pengajian atau walimah . Namun, tanggapannya berubah.
Pada tanggal 24 Juli 2025, Ketua MUI Lumajang KH. Achmad Hanif, SQ, menyatakan bahwa pihaknya kini secara resmi mendukung penuh fatwa MUI Jatim dan telah mengoreksi pernyataan sebelumnya . Ia menekankan bahwa sound horeg yang menimbulkan dampak buruk seperti jogetan tidak senonoh, kemudaratan, atau tabdzir hukumnya haram secara mutlak. Seperti yang telah tayang di jatimhariini.com
Lalu, Apa Lagi yang Ditunggu MUI Lumajang?
Apakah peran ulama hari ini hanya menjadi “pengaman politik lokal”, bukan lagi pelindung umat?
Kami tidak membenci MUI.
Kami merindukan MUI yang dulu—yang bersikap, bukan hanya hadir di acara resmi.
MUI yang: Tegas saat umat dizalimi. Tidak bermain aman saat suara kebenaran dibungkam. Tidak memoles jargon moderasi untuk menenangkan negeri.
Karena fatwa yang abu-abu hanya menyenangkan kekuasaan
sedangkan fatwa yang tegas menyelamatkan umat.
Wahai MUI Lumajang,
jangan hanya jadi tamu kehormatan.
Jadilah suara kebenaran.
Jadilah suara umat.
Atau diamlah selamanya.
Semua isi tulisan ini merupakan opini pribadi dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab sebagai penulis, sebagai wujud hak berekspresi yang diridhai konstitusi. Kritik ini ditujukan demi kepentingan umat dan perbaikan lembaga keagamaan.
Penulis: KH. Imron Fauzi (Gus Fauzi)
Pengasuh Pondok Pesantren Annur Azzahra, Tempeh, Lumajang Jawa Timur.

