Di depan kelas, dengan wajah penuh keyakinan, ia mulai berkhotbah tentang ajaran Islam, nilai-nilai religius, dan bahkan bagaimana seorang Muslim seharusnya hidup. Seakan lupa bahwa mata kuliah ini berjudul Etika Profesi Hukum, bukan kajian teologi. Mahasiswa yang awalnya antusias justru mulai bertukar pandang dengan ekspresi bingung—beberapa sibuk mencatat, tapi bukan materi kuliah, melainkan curhatan untuk grup WhatsApp.
Ketika seorang mahasiswa memberanikan diri bertanya, "Pak, bagaimana hubungan kode etik advokat dengan asas independensi hukum?"—sang dosen malah berbelok lebih jauh. Ia merespons dengan panjang lebar tentang pentingnya menegakkan hukum sesuai nilai-nilai Islam, seolah-olah hukum hanya milik satu agama saja. Diskusi etika profesi? ada akan tetapi semua jawaban akan samapai pada waktunya dia menyampaikan dengan kalimat ke arab araban (dalil Al Qur'an)
"Atā amrullāhi fa lā tasta'jilụh, sub-ḥānahụ wa ta'ālā 'ammā yusyrikụn"
Pembahasan kasus nyata tentang dilema moral pengacara? Lupakan saja.
Tak sedikit mahasiswa yang akhirnya menyerah, memilih pura-pura sibuk dengan laptop atau sekadar menatap jam dinding, menghitung detik hingga kuliah berakhir. Bukannya mendapat wawasan soal etika dalam dunia hukum, mereka justru merasa berada di forum kajian keagamaan tanpa undangan. Jika saja mata kuliah ini diuji dalam persidangan akademik, mungkin dosennya sudah divonis menyalahi "kontrak sosial" dengan mahasiswanya.

